EKSPEDISI KE
WATU MORA’A
(Tulisan Bagian Pertama)
Tentena,
Juni 2018. Mengisi libur kenaikan kelas tahun ini, Siswa Pecinta Alam SMAN 1
Pamona Utara melaksanakan kegiatan Ekspedisi. Bagi sayaselaku pendiri
organisasi ini, perjalanan menuju Watu Mora’a
adalah perjalanan kali yang ketiga. Demikian halnya dengan Nover Lenga,
sesama pembina Sipala Sandikala ini adalah ekspedisi ketiga kami ke Watu
Mora’a. Setiap kali kami melakukan perjalanan, kami berjanji untuk tidak ke
sini lagi (lain halnya dengan perjalanan menuju tempat suku terasing yang
selalu saya rindukan walau sudah yang kedua kali). Pertanyaannya, mengapa
langgar janji ini? Jawabannya lumayan kompleks! Ada alasan Pelestarian, Budaya,
Legenda, Sejarah, Mitos, bahkan mistis yang selalu menarik untuk dirasionalosasi.
Inilah yang membuat kami berdua melakukan perjalanan ini lagi. Selain kami,
turut serta Apris (Adri Kaleb Patudai, S.Pd) seniornya Sandikala, seorang guru
di desa Peleru kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali. Kami bertiga mendampingi
para siswa SMAN 1 Pamona Utara.
Hari
Pertama : Keberangkatan Pandawa Sandikala
Berjumlahkan
19 orang kami membagi tim menjadi dua kelompok. Pertama lima orang pandawa
Sandikala, yang diberangkatkan tanggal 9 Juni 2018, dan Kedua yang berangkat
tanggal 10 Juni 2018. Bemodalkan jempol untuk menahan mobil gratisan, para
pandawa (terdiri dari Holi, Refli, Engki, Opan, dan Gideon), tiba di Polsek
Pendolo untuk melaporkan kehadiran tim, selanjutnya mereka ke desa Mayoa untuk
bertemu Kepala Desa.
Hari Kedua
: Menuju Tepi Sungai Kodina
Keesokan
harinya tim kedua yang beranggotakan Chika, Yuni, Kristha, Indra, Andri, Yuli,
Kaleb, Delsi, Indi, Leo, Ayen, serta kami bertiga selaku pendamping berangkat
dari Tentena dengan mengunakan tujuh kendaraan roda dua, dan setelah menempuh
perjalanan tiga jam melewati kecammatan Pamona Timur, Pamona Tenggara, hingga
Pamona Selatan, kamipun bertemu dengan tim Pandawa Sandikala di dusun Watu
Maeta Desa Mayoa sekitar 5 km dari perbatasan Sulteng dan Sulsel. Kendaraan
kami titipkan di rumah kepala dusun.
Berbeda
dengan ekspedisi sebelumnya, kali ini kami langsung melakukan perjalanan susur
hutan dengan target tepi sungai Kodina untuk membuka tenda. Setelah berjalan
lebih kurang 2 Jam, dan menyebrangi dua sungai, kami tiba di tepi sungai Kodina
dan hujanpun mulai menetes.
Hari
Ketiga: Cuaca Memisahkan Tim
Hari ketiga
setelah saraoan pagi dan bongkar tenda, kami meninggalkan sungai kodina.
Penyusuran kali ini lebih panjang, menempuh hutan, dan padang rumput. Tim mulai
terpisah dengan target bertemu di puncak Petiro Rano, masyarakat yang biasa
mencari rotan atau memasang jerat hewan (khususnya Babi Huta) menyebut tempat
ini “pemandangan” sedangkan kami lebih suka dengan Petiro Rano (Tempat Melihat
Danau) kareba dari tempat ini, kita bias melihat Danau Poso di kejauhan.
Selepas
padang rumput jalur landai mulai kami tinggalkan, memasuki hutan dengan
pepohonan berlumut dan lintah mulai kami temui. Sekali lagi cuaca kurang
mendukung hujan mulai turun jelang Petiro Rano. Saya memutuskan untuk istirahat
menunggu hujan reda. Dari komunikasi ternya teman- teman lainnya sudah mencapai
Petiro Rano. Sayapun menugaskan Opan untuk bergerak ke Petiro Rano meminta
tambahan tenda dan menyuruh tim yang sudah tiba di Petiro Rano agar tidak
menunggu kami. Selain hujan yang menghambat kami, masalah teknis berupa putus
tali Carrier, menjadi hambatan lainnya karena kami harus menunggu Leo Menjahit
ranselnya, begitu pula dengan ranselnya Engki.
Tak berapa
lama kemudian, Opan tiba bersama Kaleb sambal membawa tenda cadangan. Hujanpun
mulai reda, tetapi mengingat jalur selanjutnya taka da air, maka Engki bersama
Leo ditugasakan untuk mencari sumber air di jalur sebelumnya.setelah itu
kamipun melanjutkan perjalanan. Saaat itu jelang jam 4 sore, saya bersama Engki,
Leo, Opan, Kaleb, Refli, dan Chika mulai mendaki Petiro Rano.
(bersambung ke tulisan EKSPEDISI KE WATU MORA'A berikutnya)